Ketika Perundungan Dianggap Candaan

SHARE

Sebenarnya, perundungan, atau bullying, bukanlah hal baru dalam kehidupan kita. Di sepanjang sejarah, tindakan merendahkan orang lain—baik berdasarkan penampilan fisik, status sosial, atau latar belakang lainnya—selalu ada. Namun, yang lebih mencolok adalah bagaimana perundungan kini seringkali dianggap sebagai bagian dari "candaan" atau "guyonan" yang tidak perlu dibesar-besarkan. Dalam banyak kasus, orang-orang yang melakukan tindakan perundungan, baik secara langsung maupun tidak langsung, sering kali tidak menyadari dampaknya atau malah merasa bahwa mereka hanya sedang "bercanda". 

Misalnya, mengolok-olok fisik seseorang yang berbeda, seperti kulit gelap, hidung datar, atau rambut keriting, sering dianggap sebagai hal yang remeh dan bisa ditertawakan. Ini terjadi di banyak lingkungan, mulai dari pertemuan keluarga, pergaulan teman, hingga dunia media sosial. Faktanya, ini bukanlah hanya sekadar "canda" yang tidak berbahaya. Dalam banyak kasus, ini adalah cara untuk merendahkan orang lain dan menunjukkan dominasi, meskipun pelakunya tidak menyadari atau tidak berniat jahat.

Ketidakmampuan Membedakan Candaan dan Perundungan

Salah satu penyebab utama mengapa perundungan dianggap sebagai candaan adalah ketidakmampuan kita untuk membedakan antara keduanya. Banyak orang yang terjebak dalam anggapan bahwa semakin keras tawa yang tercipta, semakin menyenangkan sebuah interaksi. Dalam dunia yang semakin cepat berputar ini, standar humor seringkali bergeser, dan banyak orang yang mulai kehilangan sensitivitas terhadap perasaan orang lain.

Penting untuk dipahami bahwa perundungan bukan hanya soal fisik. Kata-kata, meskipun tidak disertai tindakan kasar, bisa menjadi bentuk kekerasan psikologis yang lebih mendalam. Ketika seseorang dipanggil dengan nama yang merendahkan—seperti "hitam", "pesek", atau bahkan "bodoh"—ini bukan sekadar ungkapan tanpa makna. Itu adalah cara untuk menurunkan martabat orang tersebut dan membuatnya merasa kecil, meskipun mungkin tidak ada niat untuk melukai secara fisik.

Pola pikir ini, yang sering muncul dalam budaya kita, adalah sesuatu yang sudah begitu terbiasa hingga sering kali tidak disadari. Beberapa orang bahkan merasa bahwa mereka tidak perlu meminta maaf setelah mengucapkan kata-kata menyakitkan, karena mereka berpikir bahwa itu hanyalah "guyonan" yang wajar dalam pergaulan.

Neuroscience dan Habituasi dalam Perundungan

Salah satu alasan mengapa perundungan bisa dianggap sebagai candaan adalah fenomena neurologis yang disebut habituasi. Habituasi adalah proses di mana seseorang menjadi kurang sensitif terhadap rangsangan yang berulang. Ini adalah mekanisme alami yang memungkinkan otak untuk mengabaikan rangsangan yang tidak dianggap penting atau yang terlalu sering terjadi.

Dalam konteks perundungan, ini berarti bahwa jika seseorang sering mendengar kata-kata atau perilaku yang merendahkan, mereka lama-kelamaan akan menjadi terbiasa dengan hal tersebut. Pada awalnya, mungkin mereka merasa tersinggung atau bahkan terluka, tetapi seiring waktu, mereka akan mulai menerima hal tersebut sebagai bagian dari interaksi sosial yang normal. Mereka mungkin tidak lagi merasa terganggu dengan ejekan fisik, bahkan jika itu sangat merendahkan atau menghina.

Habituasi ini juga berlaku untuk pelaku perundungan. Seseorang yang terbiasa mengolok-olok orang lain atau membuat candaan kasar, lama kelamaan akan merasa bahwa tindakan tersebut bukanlah hal yang salah. Bahkan, mereka mungkin merasa bahwa itu adalah cara mereka untuk berbaur dengan orang lain atau mendapatkan perhatian. Dalam jangka panjang, kebiasaan ini dapat mengarah pada penguatan perilaku perundungan, yang membuat perundungan semakin sulit untuk dihentikan atau diubah.

Hal ini terlihat jelas pada kasus yang beberapa hari belakangan ini viral di media sosial. Di sebuah acara keagaamaan yang melibatkan seorang tokoh terkenal, dimana seorang yang dipanggil Gus dengan ringan mengolok-olok seorang penjual es dengan kata-kata "G*bl*k" Olok-olok itu dianggap sebagai bagian dari candaan, bahkan para petinggi yang di samping dalan belakang Gus tersebut juga turut tertawa terbahak-bahak. Meskipun jelas-jelas, ekpresi wajah penjual es tersubut menunjukan rasa tidak nyaman. 

Dampak Perundungan yang Terabaikan

Efek dari perundungan tidak dapat dipandang sebelah mata. Meskipun dalam beberapa kasus, orang yang menjadi sasaran perundungan tampak bisa menerima atau menanggapi dengan tertawa, ini sering kali hanya merupakan pelindung untuk menutupi rasa sakit yang mereka rasakan. Perundungan dapat menyebabkan dampak psikologis yang serius, seperti menurunnya rasa percaya diri, kecemasan sosial, hingga depresi. Dalam banyak kasus, orang yang sering diolok-olok mulai merasa tidak nyaman dengan dirinya sendiri dan berusaha untuk menyesuaikan diri dengan standar sosial yang tidak realistis.

Anak-anak, khususnya, sangat rentan terhadap perundungan. Mereka sedang dalam tahap pembentukan identitas diri, dan pengalaman buruk terkait penampilan atau status sosial bisa meninggalkan luka yang dalam. Luka ini sering kali tidak terlihat di permukaan, tetapi bisa memengaruhi perkembangan mental dan emosional mereka sepanjang hidup.

Mengubah Pandangan Tentang Candaan

Lalu, bagaimana kita bisa mengubah pandangan tentang perundungan yang dianggap candaan ini? Langkah pertama adalah menyadari bahwa tidak semua yang terdengar lucu atau menyenangkan bagi sebagian orang akan diterima dengan cara yang sama oleh orang lain. Setiap orang memiliki batasan yang berbeda tentang apa yang dapat mereka terima dan apa yang mereka anggap menyakitkan.

Kedua, penting bagi kita untuk melibatkan pendidikan emosional dan sosial dalam kehidupan sehari-hari. Mengajarkan anak-anak untuk menghargai perbedaan dan memahami dampak dari kata-kata mereka bisa menjadi langkah awal untuk mengurangi perilaku perundungan. Menghargai perasaan orang lain dan mengenali bahwa setiap orang memiliki keunikan dan nilai yang tidak boleh dipandang sebelah mata adalah kunci untuk membangun masyarakat yang lebih inklusif dan empatik.

Akhirnya, kita juga harus berani untuk menantang budaya yang merendahkan dan menganggap perundungan sebagai hal yang biasa atau lucu. Perubahan tidak bisa terjadi dalam semalam, tetapi dengan kesadaran kolektif dan tindakan nyata, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih menghargai martabat setiap individu tanpa terkecuali.