Memahami Peran dan Tanggung Jawab Orang Tua Dalam Pengasuhan Anak di Era digital

Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi yang begitu pesat di era digital ini, telah menjadikan kehidupan masyarakat tidak bisa dipisahkan dengan dunia virtual. Interaksi manusia dengan manusia telah digantikan menjadi interaksi melalui teknologi digital. Ketersediaan media digital dalam bentuk computer/laptop, telepon pintar (gawai), piranti permainan/game, aplikasi online serta kemudahan akses digital menyebabkan pengguna teknologi digital khususnya menggunakan fasilitas internet mengalami peningkatan yang signifikan dari waktu ke waktu.
Secara global penggunaan internet di dunia berdasarkan data yang telah dikeluarkan We Are Social adalah mencapai 3,8 miliar dengan persentasi 51% dari total populasi. Di Indonesia, berdasarkan survei yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), pengguna internet pada tahun 2017 sebanyak 143 juta jiwa atau 54,6% dari total populasi Indonesia. Jumlah ini meningkat hampir 10 juta jiwa dibandingkan dengan tahun 2016. Pada wilayah Maluku-Papua, jumlah pengguna internet mencapai 41,98% dari total populasi penduduk di wilayah ini. Di tilik dari komposisi pengguna internet, terdata pengguna internet terbanyak ada pada rentang usia 19-34 tahun (49,52%), akan tetapi penetrasi pengguna internet telah mencapai 25% pada tingkat pendidikan Sekolah Dasar (SD). Hal ini merupakan indikasi bahwa penggunaan internet tidak hanya sebatas kehidupan orang dewasa akan tetapi telah merambat hingga kehidupan anak-anak.
Di luar survei yang dilakukan oleh APJII, pada kenyataannya, anak telah bersentuhan dengan teknologi informasi dan komunikasi bahkan sebelum mereka sempurna berjalan. Hasil survei yang dilakukan oleh Newsround dari BBC mendapatkan bahwa 78% anak usia di bawah 13 tahun memiliki setidaknya satu akun media sosial dan umumnya telah aktif bersosial media sejak usia 9 tahun. Temuan ini sejalan dengan laporan APJII dimana lebih dari 85% layanan internet digunakan adalah chatting dan sosial media. Kenyataan ini menjadi sebuah ironi mengingat semua fasilitas sosial media seperti facebook, whatsapp, youtube, instagram, dan twitter telah menerapkan batasan usia minimal untuk menggakses layanan tersebut adalah 13 tahun. Maraknya pengguna internet khususnya pada pada usia anak dan remaja perlu mendapat perhatian serius dari berbagai pihak mengingat fakta bahwa layaknya air dan api, media digital seperti website berita, gawai, game digital, aplikasi online, dan sosial media tidak hanya dapat memberikan dampak positif tetapi juga berpengaruh negatif pada pertumbuhan dan perkembangan anak.
Pada anak usia pra sekolah, kecanggihan dan kemudahan operasional teknologi menawarkan kemudahan dan variasi dalam proses anak mempelajari banyak hal. Teknologi yang memungkinkan untuk menghadirkan stimulus suara dan visual di saat yang bersamaan membuat anak mampu untuk mempelajari banyak hal dalam satu waktu. Pada anak usia sekolah, keberadaan media digital dapat mempermudah kegiatan belajar dan menghilangkan kepenatan siswa-siswi ketika stres setelah seharian bergelut dengan pelajaran di sekolah. Misalnya: mengomentari status orang lain yang terkadang lucu dan menggelitik, bermain game, dan lain sebagainya.
Penggunaan gawai dan internet juga dapat berdampak negatif bagi anak. Berikut diuraikan beberapa dampak negatif teknologi digital, yaitu:
1. Dampak kesehatan
Bayi dan balita adalah kelompok usia yang paling rentan karena kekuatan tubuhnya masih rendah. Paparan layar terlalu lama membuat mata lelah dan sakit. Kesalahan posisi tubuh ketika mengakses gawai dapat menciptakan postur tubuh yang buruk seperti tulang belakang bengkok ke samping atau ke depan. Semua orang termasuk anak-anak yang terlalu sering mengakses gawai jadi malas bergerak sehingga mengalami obesitas atau perlambatan pertumbuhan. Lebih parah, jika mereka terobsesi pada game atau tontonan terentu dapat mengalami kecanduan (adiksi). Jika dilarang, mereka menjadi stres dan agresif terhadap orang tua.
Di sisi lain, kecanduan menyebabkan seseorang akan menatap layar layar laptop/komputer atau gawai dalam jangka waktu yang lama. Hal ini menyebabkan seseorang lupa waktu hingga tidur larut malam yang pada akhirnya mengubah irama biologis individu tersebut. Terdapat laporan hubungan antara kejadian insomnia (sulit tidur) dengan lama waktu penggunaan gawai. Semakin sering dan lama menggunakan gawai, resiko insomnia semakin besar. Kondisi ini dapat memicu gangguan pertumbuhan dan perkembangan khususnya pada anak, mengingat fungsi tidur adalah untuk restorasi fungsi fisiologi dan psikologis. Pada semua usia gangguan irama biologis dan insomnia dapat memicu munculnya berbagai gangguan kesehatan lainnya.
2. Dampak pesan digital
Pesan digital khususnya yang diterima melalui layanan internet dan sosial media dapat memengaruhi pandangan dan pola berpikir penggunanya. Misalnya, jika seseorang sering menonton berita buruk maka ia akan berpikir dunia ini tanpa harapan. Maka konten kesedihan dan kekacauan sebaiknya tidak ditonton oleh anak-anak. Persoalan menjadi lebih rumit, kebiasaan mengakses konten terentu ditangkap oleh penyedia layanan media digital sehingga pengguna akan diberi rekomendasi serupa terus menerus. Jika telah terjebak, maka sulit bagi pengguna untuk mengubah pola tersebut.
Kebiasaan membaca pesan digital juga membuat seorang anak memiliki ketahanan baca yang minimal. Anak terbiasa untuk cepat puas dengan informasi atau pengetahuan yang didapat (tidak melakukan penelusuran mendalam dan atau cek silang). Dikemudian hari, seseorang dapat lebih mudah untuk disusupi dengan berita-berita yang kebenaran informasinya tidak dapat dipertanggungjawabkan.
3. Dampak Psikologis dan sosial
Sebuah penelitian dibidang neurosains menemukan bahwa paparan terhadap teknologi digital lebih dari 2 jam sehari dapat memicu perilaku agresif pada pada anak usia kurang dari 5 tahun. Paparan gawai dan internet juga menyebabkan anak menjadi malas bergerak, kemampuan bersosialisasi menurun, sulit berkonsentrasi di dunia nyata, serta sulit berkonsentrasi pada pelajaran di sekolah. Selain itu, anak mudah terpapar risiko penggunaan internet meliputi risiko tindakan agresif (perundungan, stalking, bullying), risiko seksual (konten pornografi, sexting, kekerasan seksual), risiko nilai budaya (rasisme, radikalisme, konten kebencian), dan risiko komersil seperti penyalahgunaan data pribadi. Orang tua diharapkan tidak menyebarkan informasi pribadi anak seperti tempat tinggal, sekolah, bagian tubuh pribadi, jadwal harian dan sebagainya.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat jumlah anak korban pornografi dan kejahatan online di tahun 2015 telah mencapai 1.022 anak. Jenis kejahatan yang terjadi dapat berupa korban kekerasan seksual online, objek CD pornografi, dan prostitusi anak online. Hal yang paling menyedihkan adalah anak bukan hanya sebagai korban kejahatan online tetapi juga sebagai pelakunya. Menurut KPAI, faktor pemicu kejahatan online adalah akibat lemahnya upaya perlindungan dari negara dan keluarga dan sebagai factor pemicu utama adalah pembiaran yang dilakukan oleh orang tua.
Orang tua dihadapkan pada tantangan akan dampak negatif media digital terhadap perilaku, sikap, dan keselamatan anak. Lingkungan media dan komunikasi berkembang sangat cepat dan sulit diikuti orang tua. Keduanya terlahir pada generasi yang berbeda. Bagi orang tua, kurangnya keahlian teknis atau literasi media dan informasi menjadi penghambat untuk melakukan mediasi bagi aktivitas anak menggunakan dan mengakses konten digital. Secara teknis, hanya sedikit orang tua yang menyaring konten serta melacak kembali website yang dikunjungi anak. Oleh karena itu literasi media dan informasi adalah hal penting sebagai tameng untuk melindungi diri dari risiko simpton adiksi internet dan kejahatan online. Semakin tinggi tingkat literasi seseorang maka akan semakin rendah risiko internet yang dialami. Kemampuan untuk mengakses media merujuk pada kemampuan untuk menentukan konten media yang sesuai dengan kebutuhan dan menghindar dari konten media yang tidak dibutuhkan. Maka dari itu, selain kemampuan teknis, orang tua perlu memiliki literasi struktur sosial dan literasi kritis dalam menggunakan dan mengakses konten digital. Literasi ini penting untuk memediasi anak dengan teknologi komunikasi dan internet.
Herlina et al. (2018) menuliskan beberapa panduan bagi orang tua untuk dalam menerapkan pengasuhan di Era digital. Beberapa tindakan yang perlu dilakukan orang tua dalam mengasuh anak berhadapan dengan media digital adalah sebagai berikut:
1. Mendampingi anak mengakses gawai
Orang tua seyogya selalu bersama anak ketika ia menggunakan media digital untuk dua kepentingan utama yaitu menegosiasikan waktu akses dan memilih media dan saluran. Meski para ahli menyarankan waktu berhadapan dengan layar maksimal 2 jam sehari namun jika aktivitas itu dikombinasikan dengan aktivitas produktif atau afektif (seperti berkomunikasi dengan keluarga di tempat jauh) maka durasi dapat bersifat feksibel. Sebaliknya, jika orang tua mampu menyediakan aneka kegiatan yang lebih bermanfaat atau ada interaksi sosial yang penting maka waktu mengakses gawai dapat dikurangi. Hal lain yang pelu diperhatikan adalah kemauan orang tua mengetahui media dan saluran yang disukai anak akan sangat bermanfaat untuk membangun komunikasi yang efektif dalam pengasuhan.
2. Menyeleksi konten yang sesui untuk anak
Seleksi konten digital dapat dilakukan dengan piranti lunak dan pemahaman. Orang tua dapat menggunakan kategorisasi atau rating yang digunakan penyedia konten. Beberapa aplikasi seperti Play Store misalnya, memiliki kategori khusus keluarga yang berisi konten-konten ramah anak. Aplikasi lain seperti Youtube juga menyediakan saluran Youtube Kids, pastikan anak-anak hanya menonton dari saluran semacam itu saja. Tapi pengaturan semacam itu tidak cukup, karena nilai masing-masing keluarga berbeda, maka orang tua perlu menekankan batasan kewajaran konten terkait dengan penampilan tubuh, adegan kekerasan, nilai cerita dsb. Contohnya, hubungan LGBT di beberapa negara barat telah dianggap alamiah tetapi di sebagian besar keluarga Indonesia masih menolaknya maka perlu bagi orang tua menekankan bahwa hubungan heteroseksual adalah sesuatu yang wajar sedangkan homoseksual tidak wajar.
3. Memahami informasi yang disediakan oleh media digital
Pemahaman dilakukan dengan menggunakan kerangka moral dan rasional masing-masing keluarga. Agar pola pengasuhan dapat berfungsi pendidikan yaitu nilai orang tua dianut juga oleh anak maka informasi yang didapatkan melalui media digital perlu didiskusikan. Ada banyak konten kontroversial di internet seperti berita kecelakaan yang berdarah-darah. Konten semacam itu tentu tak pantas ditonton anak namun jika anak sudah terlanjur mengaksesnya maka orang tua perlu memberi pemahaman untuk menghindari, tidak menyebarluaskan dan mengantisipasi dampaknya bagi perasaan dan pikiran anak.
4. Menganalisis konten digital untuk menemukan pola positif dan negatif
Pembicaraan ini bertujuan agar orang tua dan anak memiliki kesepahaman tentang pandangan mereka terhadap fenomena di luar rumah. Diskusi juga membuat anak terbuka terhadap berbagai perbedaan sudut pandang yang mungkin ditemui di luar rumah sehingga ia tidak menjadi pribadi yang ekstrim. Pada saat yang sama, orang tua dapat menggali sudut pandang anak-anak sesuai zamannya agar mudah mengasuh mereka saat ini dan kemudian hari.
5. Memverifikasi media digital
Tidak setiap informasi yang beradar di media digital merupakan informasi yang bersifat fakta. Verifikasi dilakukan untuk memastikan apakah informasi yang diterima bersifat fiksi atau fakta, kabar benar, atau kabar bohong. Kemampuan memverifikasi konten memerlukan kejelian dan kesabaran karena orang tua dan anak harus dapat menelusuri sumber-sumber informasi yang didapatkan dan memastikan kualitasnya.
6. Mengevaluasi konten media digital
Mengevaluasi konten media digital adalah keputusan akhir terhadap suatu informasi yang sudah diterimanya dan membiasakan melalui proses seleksi, diri untuk kritis terhadap pemahaman, analisis, dan verifikasi. Keputusan yang muncul misalnya apakah informasi ini layak dipercaya dan disebarluaskan, hanya cukup untuk pengetahuan pribadi, atau justru cukup diabaikan karena bukan merupakan informasi yang penting.
Diskusi antara orang tua dan anak bisa dilakukan untuk melatih anak mengambil keputusan atas informasi yang diterimanya dan membiasakan diri untuk kritis terhadap informasi yang diterimanya melalui media digital.
7. Mendistribusikan konten media
Berdasarkan nilai yang dianut keluarga dan kecenderungan di media digital, orang tua dan anak dapat membangun kesepahaman mengenai konten apa yang dapat dibagikan atau tidak dapat. Pada saat yang sama, penting bagi orang tua memperkenalkan konsep wilayah privat yang di era digital ini seringkali diabaikan bahkan dianggap tidak penting. Secara sederhana, segala sesuatu yang tidak pantas dibagikan pada banyak orang dalam kehidupan nyata juga tidak pantas dibagikan di media digital.
8. Memproduksi konten positif dan produktif bersama
Orang tua dapat mengarahkan waktu mengakses gawai untuk kegiatan produktif seperti belajar mengambar, mengolah kata dan data. Jika anak-anak diarahkan menjadi produsen maka waktu mereka menjadi konsumen akan jauh berkurang. Mereka juga akan belajar bahwa penggunaan media digital secara efektif akan menunjang ketrampilan dan pengetahuan mereka saat ini dan kelak ketika dewasa.
9. Berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan produktif terkait media digital
Seringkali diadakan workshop dan lomba yang dapat diikuti anak- anak untuk melatih kemampuan menggunakan media digital secara produktif, meskipun di wilayah Maluku kegiatan seperti ini masih sangat jarang dilakukan. Hal lain, orang tua dapat menunjukan bukti-bukti digital bahwa ada banyak isu di dunia nyata yang dapat dipengaruhi oleh interaksi pengguna internet. Sebagai misal, pengumpulan donasi untuk korban bencana alam dapat dilakukan melalui internet.
10. Berkolaborasi menciptakan konten digital
Berkolaborasi merupakan puncak dari keterampilan literasi digital. Untuk dapat berkolaborasi dengan baik dan mengoptimalkan potensi-potensi media digital, kemampuan literasi digital dasar mulai dari mengakses sampai berpartisipasi secara aktif diperlukan. Kolaborasi juga berarti kemampuan untuk bekerjasama dengan banyak pihak dalam mengkreasikan suatu konten digital yang bermanfaat. Dalam lingkup keluarga, kolaborasi bisa dilakukan dengan cara sederhana, misalnya membuat konten kreatif yang dikerjakan orang tua dan anak secara bersama-sama.
Secara khusus pengasuhan digital harus yang disesuaikan dengan fase pertumbuhan anak. Berikut diuraikan panduan praktis untuk pengasuhan digital berdasarkan usia.
1. Usia 0-2 tahun
- Hindarkan pemaparan layar pada mata anak
- Ailhkan perhatian anak pada mainan yang merangsang gerak fisik dan panca indera
- Perdengarkan lantunan Al-Quran, Sholawat nabi, musik instrumentalia pada pagi hari dan sebelum tidur
2. Usia 3-6 tahun
- Perhatikan sikap tubuh saat mengakses gawai: posisi mata sejajar, tidak membungkuk, di tempat terang, suara pelan.
- Pemaparan layar secara terbatas (maksimal 2 jam/hari)
- Keberimbangan waktu bermain dan mengakses gawai
- Konten harus bersifat riang, hindari konten sedih/konflik
- Belajar menyalakan atau mematikan gawai, menelpon, mengirim pesan dan memotret.
- Selalu damping anak ketika mengakses gawai
- Anak tidak diperkenankan memiliki akun media sosial atau e-mail
- Orang tua tidak menyediakan gawai pribadi
3. Usia 7-11 tahun
- Berikan aturan akses gawai yang ketat: hiburan dan belajar
- Ajarkan soal konsep privasi dan informasi privat seperti: alamat, nomer telepon, penyakit dan ruang privat.
- Tunjukan konten-konten negatif yang harus dihindari: kekerasan dan seksualitas, konflik dan kebencian
- Perhatikan penampilan tubuh di media
- Belajar merawat gawai dengan membersihkan, mengisi baterai, menyimpan di tempat aman
- Arahkan anak mempelajari hal-hal teknis yang produktif seperti mengolah gambar, kata, angka, suara.
4. Usia > 11 tahun (remaja)
- Beri penekanan fungsi media digital untuk aktivitas produktif
- Ajarkan mereka menggunakan media digital untuk partisipasi sosial yang produktif
- Ajarkan cara membentuk kepribadian di dunia digital yang bermanfaat untuk kehidupan pribadi dan profesional di masa depan
- Menyediakan waktu untuk mendiskusikan pengalaman mereka bermedia digital lalu kaitkan dengan pengalaman di dunia nyata.
Selain panduan literasi digital bagi orang tua yang telah dibahas sebelumnya, maka sebagai orang tua muslim sejatinya kita perlu memahami bahwa orang tua adalah pendidik atau madrasah pertama dan utama bagi anak-anaknya selaku penerus generasi atau penerus umat. Anak adalah potensi umat Islam, harapan masa depan, harta pusaka dan kekuatan inti kokohnya sebuah generasi islami. Oleh karena itu menjadi wajib bagi orang tua memperhatikan dan menjadikan prioritas bagi pendidikan ajaran agama dalam keluarga.
Ustadz Salim Sholih Ahmad Ibn Madhi dalam bukunya yang berjudul 30 Langkah Mendidik Anak Mengamalkan Ajaran Agama menempatkan langkah pertama yang harus dijalankan orang tua dan merupakan langkah yang paling penting adalah kesalehan orang tua. Dengan kesalehan ayah dan ibu, anak-anak berpeluang besar menjadi baik. Anak-anak tumbuh sesuai yang dibiasakan orang tuanya.
Pada dasarnya, secara psikologis anak adalah makhluk peniru. Anak memang senang meniru, tidak saja yang baik, yang jelek pun ditirunya. Dari sinilah keteladanan menjadi faktor yang sangat berpengaruh pada baik buruknya perilaku anak. Praktek keteladanan termasuk dalam langkah kelima setelah memberikan nama yang baik, mengajarkan syariat, dan mengukir ilmu yang harus diterapkan oleh orang tua.
Setiap anak dilahirkan dengan potensi yang besar untuk menjadi baik, namun sebesar apapun potensi tersebut, anak tidak akan begitu saja mengikuti prinsip-prinsip kebaikan selama ia belum melihat orang tuanya berada di puncak ketinggian akhlak dan memberikan contoh yang baik. Mudah bagi orang tua untuk memberikkan satu pelajaran kepada anak, namun sangat sulit bagi anak untuk mengikutinya ketika ia melihat orang yang memberikan pelajaran tersebut tidak mempraktikkan apa yang diajarkannya. Dalam konteks akses media digital, maka anak akan sulit untuk melepaskan ketergantungannya terhadap gawai jika setiap hari melihat orang tua juga intens berinteraksi dengan gawai.
Selain kelima langkah di atas, langkah selanjutnya yang perlu dilakukan oleh orang tua adalah membiarkan anak bermain, tetapi ditemani dengan tema-tema agama, senantiasa menyemangati dan memotivasi anak, menjelaskan fantasi dan memberikan arahan yang sesuai, langsung mengarahkan ketika anak melakukan kesalahan, memberikan jawaban atas segala pertanyaaan dan memberikan arahan yang sesuai, membiasakan suka berkompetisi, menjadi dermawan dan lebih mengutamakan saudara sendiri, memperhatikan pakaian anak, memberikan terapi pada emosi anak, mendidik anak agar memiliki kecemburuan terhadap agama, kecendrungan memiliki ketrampilan, melatih pemahaman dan perkembangan bahasa dengan cepat, menjadikan anak-anak penemu cilik, membuat anak merasa diterima dan dicintai, memulai, mempersiapkan teman-teman yang shaleh, menjadikan anak mandiri, menjadikannya dai cilik, kenali agama dengan muslihat-muslihat musuh, membiasakan bermusyawarah, meminta petunjuk pada Allah, dan langkah yang terakhir adalah berdoa dan berdoa.
Semua langkah di atas penting adanya, akan tetapi dalam hal melindungi anak dari pengaruh konten negatif media digital atau internet, maka langkah membuat anak merasa diterima dan dicintai harus betul-betul diperhatikan. Media digital, media sosial atau internet merupakan mulut menganga yang siap melahap dan memberikan berbagai kebutuhan yang diinginkan anak. Media digital tidak boleh menjadi tempat dimana anak mencari cinta dan kasih sayang atau tempat dimana anak mengumbar segala curahan rasa. Segala sesuatu yang telah tertumpah di dunia digital online, maka jejaknya akan sulit untuk dikontrol. Orang tua harus berusaha sekeras mungkin agar tangki-tangki cinta anak dipenuhi oleh cinta orang tua yang mengayomi pada cinta kepada Allah dan Rasul.
Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah pemimpin umat muslim. Beliau selalu menunjukkan akhlak yang baik dan lemah lembut. Kepada anak-anaknya, Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam sering memanggil mereka dengan sebutan yang indah, menggendong dan mengusap kepala mereka. Perlakuan Beliau terhadap anak-anak patut dicontoh oleh orang tua muslim sehingga anak merasa nyaman berada di sisi orang tua.
Langkah terakhir yang disebutkan adalah berdoa dan berdoa. Doa memiliki peran yang amat penting dalam kesalehan dan kebaikan anak. Berapa banyak doa yang bertepatan dengan waktu pengabulan menjadi sebab kebahagiaan anak di dunia dan akhirat. Dan berapa banyak pula doa yang menyimpangkan jalan anak yang menjadikannya menapaki jalan sesat dan menyimpang. Orang tua berkewajiban untuk mendoakan anak dengan sebaik-baiknya doa dan pengharapan, karena sesunguhnya Allah yang berkuasa untuk memberikan hidayah pada akal dan hati anak-anak kita. Orang tua hendangnya berdoa dan berdoa agar keberlimpahan akses internet di era digital ini menjadi sarana untuk meningkatkan kecerdasan dan keshalehan anak dan semoga mereka terjauhkan dari berbagai pengaruh negatif yang ditimbulkan akibat menggunakan media digital.
Sumber rujukan:
Alia, T. & Irwansyah. 2018. Pendampingan orang tua pada anak usia dini dalam penggunaan teknologi digital. A Journal of Language, Literature, Culture, and Education, 14(1): 65–78.
APJII. 2019. Penetrasi & perilaku pengguna internet indonesia. Jakarta.
Hayati, L. 2018. Konsep diri anak-anak pengguna aktif media sosial. Society, 6(2): 58–64.
Herlina, D., Setiawan, B. & Jiwana, G. 2018. Digital Parenting (Mendidik Anak di Era Digital). Yogyakarta: Samudra Biru.
Julaeha, I.S. 2014. Keteladanan orang tua dalam mendidik anak menurut Abdullah Nasih ’Ulwan. UIN Syarif Hidayahtullah.
Khairuni, N. 2016. Dampak positif dan negatif sosial media terhadap pendidikan akhlak anak. Jurnal Edukasi, 2(1): 91–106.
Livingstone, S., Haddon, L., Görzig, A., & Ólafsson, K. 2011. Risks and safety on the internet: the perspective of European children: full findings and policy implications from the EU Kids Online survey of 9-16 year olds and their parents in 25 countries, 170.
Livingstone, S., & Helsper, E. J. 2008. Parental mediation of children’s internet use.
Madhi, S.S.A.I. 2011. 30 Langkah Mendidik Anak Agar Mengamalkan Ajaran Agama. E. haryanto A. Ziyad, ed. Islam House.
Widiyastuti, I. 2017. Tipe mediasi ibu rumah tangga terhadap keselamatan berinternet anak dan remaja. Informasi Kajian Ilmu Komunikasi, 47(197–212).