Mi Pedas dan Rindu Keras

Dua pekan yang lalu saya membaca status WhatsApp dari salah seorang teman. Isinya kira-kira berbunyi seperti ini "Menunggu telepon dari anak, rasanya sama seperti menunggu gajian"
Saya bisa memahami apa yang dirasakan oleh teman saya itu karena kami sedang berada di posisi yang sama. Menanti akhir pekan untuk menuntaskan rindu tertahan pada kesayangan yang sedang belajar jauh dari jangkauan. Sebagai orang tua yang anaknya sedang mondok, hanya akhir pekan saja kami bisa bersua, lewat panggilan video. Jadilah hari Ahad menjadi hari yang begitu dinantikan.
Bagaimana dengan hari selain Ahad. Jika rindu itu begitu menyiksa, kadang-kadang saya dan suami bernostalgia dengan mengulang apa saja aktivitas yang sering dilakukan oleh anak kesayangan. Mulai dari menonton video masa kecilnya, mengingat kebiasaan-kebiasaannya yang kerap buat kami tertawa, hingga persoalan yang seringkali membuat kami harus berdebat bahkan memarahinya.
Memakan mi dengan level pedas di atas rata-rata ini contohnya. Seingat saya, kegemarannya makan mi jenis ini seringkali menjadi sumber perdebatan kami. Mi yang satu suapannya ketika saya cicipi, harus susah payah saya kunyah dan telan menjadi makanan istimewa baginya.
Kalaupun saya mengizinkannya untuk makan, selalu ada rengekan atau celotehnya dan omelan disertai aturan saya yang terjadi lebih dahulu. Semisal; banyak minum air putih, pakai bumbu pedasnya satu bungkus saja, hati-hati sakit perut, hingga dua pekan kemudian baru bisa makan lagi.
Namun, saat penggemar makanan ini jauh dari sisi, saya malah diam-diam, bahkan telah dua kali mencobanya saat makan siang di kantor sendiri. Tiga pekan lalu saya berdalih hujan jadi butuh makan yang panas dan pedas. Siang ini saya memakannya dengan alasan lapar dan makanan berat lain sudah habis terjual di kantin kantor.
Kedua alasan ini menjadi alibi sempurna untuk menutupi alasan sebenarnya. Saya bukan sedang kedinginan dan kelaparan, hanya sedang berusaha menikmati kerinduan dalam segelas mi pedas.
Tentu saja saya berjuang untuk menghabiskan mi yang sudah dipesan ini, sembari membayangkan wajahnya bahagianya yang polos dengan bibir yang setengah terbuka karena kepedasan. Rasanya ternyata enak. Pantas saja dia begitu menyukainya.
Sebegitu egoisnya terkadang atau bahkan seringkali saya sebagai orang tua. Mengukur segala sesuatu untuk anak dengan takaran diri sendiri yang belum tentu pas untuk situasi anak saat ini. Pada dasarnya saya yang tidak kuat dengan level pedisnya. Lalu sebagai mama, kelemahan saya itu menjadi sama dengan berbahaya bagi anak saya.
Untungnya, mengenang pertentangan, kesalahan, dan kekurangan, nyatanya menjadi obat paling berkhasiat dikala rindu begitu hebat. Saya menanti saat perjumpaan lagi dengan anak kesayangan, lalu kami duduk semeja, memakan mi kesukaannya ini, bergurau dan tertawa.
Saya berniat akan sabar menanti komentarnya. Apakah dia akan senang atau malah berbalik mengkritik saya sebagai orang tua atau mama yang tidak konsisten, tak masalah. Membayangkannya saja saya sudah bahagia. Kebahagian yang bernilai lebih dari menerima gaji dan tunjangan sebulan.