Refleksi Pembelajaran Daring

Beberapa hari yang lalu, grup whatsapp dosen di kampus kami diramaikan oleh postingan seorang teman mengenai keluhan terhadap mahasiswa yang tidak sempat atau tuntas mengikuti Ujian Akhir Semester (UAS) secara online atau Dalam Jaringan (daring). Ketidakikutsertaan dalam UAS disebabkan karena mahasiswa tersebut harus terdistraksi dengan urusan keluarga; mengantar kakak periksa kandungan ke dokter untuk persiapan operasi. Sambil tersenyum membaca dan berdiskusi dengan teman-teman di WAG tersebut, ingatan saya menghadirkan informasi yang serupa kala mahasiswa yang berbeda mengemukakan alasan tidak bisa ikut UAS seminggu yang lalu. Ini hanya salah satu contoh alasan selain permasalahan teknis lainnya yang menyebabkan absennya mahasiswa dari perkuliahan atau ujian, sejak pembelajaran daring diberlakukan akibat pandemi covid-19.
Penyakit covid-19 disebabkan oleh virus corona jenis baru pertama kali dilaporkan terjadi di Wuhan, China awal tahun 2020. Kini corona telah menyebar ke berbagai negara di dunia. Jumlah penderita atau orang yang terkonfirmasi positif dengan pemeriksaan real-time PCR masih terus bertambah hingga hari ini. Berbagai kebijakan pun dilakukan oleh setiap negara dengan kasus positif covid-19 untuk membatasi penyebaran virus ini. Ada yang melakukan penutupan bandara hingga pemberlakuan pembatasan terhadap pergerakan warganya. Di Indonesia, pemerintah menerbitkan kebijakan Work form Home (WFH) dan meminta masyarakat untuk tinggal di rumah saja. Organisasi kesehatan dunia (WHO) telah menyerukan tindakan pencegahan dengan mengganti istilah sosial distancing menjadi physical distancing, artinya bukan seluruh interaksi sosial yang harus dihindari, tetapi hanya pada interaksi sosial dalam bentuk kontak fisik di dunia nyata saja. Ruang komunikasi di dunia maya harus terus dirawat lewat sarana teknologi. Keberadaan teknologi dengan segala kecanggihannya menjadi kian krusial di masa pandemi Covid-19. Teknologi menjadi kebutuhan untuk menunjang berbagai aktivitas keseharian, baik dalam pekerjaan, maupun dalam menjalani proses pendidikan.
Regulasi responsif dan pelaku pendidikan adaptif
Dunia pendidikan termasuk bidang yang paling banyak memanfaatkan teknologi selama masa WFH. Metode pembelajaran tatap muka di ruang kelas pada jenjang pendidikan dasar hingga tinggi seluruhnya ditiadakan. Interaksi guru atau dosen dengan siswa/mahasiswa untuk transaksi ilmu pengetahuan berlangsung pada ruang maya. Berbagai aplikasi yang menawarkan komunikasi secara tulisan maupun dengan video conference digunakan demi kelancaran proses pembelajaran. Sejumlah media komunikasi yang digunakan bukannlah teknologi baru, akan tetapi pemanfaatan secara massif dan intensif adalah hal baru. Pelaku pendidikan dituntut untuk beradaptasi cepat dan tepat karena pendidikan tidak boleh berhenti karena pandemi. Nyatanya, ketergantungan pada teknologi dalam metode pembelajaran daring yang memungkinkan belajar di mana saja dan kapan saja menghadirkan banyak kendala.
Sudah menjadi kewajaran jika untuk setiap keuntungan yang ditawarkan oleh teknologi, akan selalu berkaitan dengan kerugian baru. Hal ini dituliskan oleh Postman dalam bukunya yang berjudul Matinya Pendidikan, Redefinisi Nilai-Nilai Sekolah sebagai prinsip pertama proses pendidikan saat harus menggunakan sebuah teknologi baru. Lebih lanjut para prinsip keenam disebutkan olehnya bahwa dalam konteks penggunaan teknologi, maka teknologi baru dan lama akan bersaing dengan waktu, perhatian, uang, dan pandangan dunia. Sebut saja proses pembelajaran daring adalah sebuah bentuk teknologi pembelajaran baru, sedangkan proses pembelajaran Luar Jaringan (luring) di ruang kelas sekolah atau kampus sebagai teknologi lama. Konteksnya kini mungkin berbeda, karena di masa sekarang tidak ada persaingan, pembelajaran daring menjadi pilihan utama dan mungkin satu-satunya untuk mencapai tujuan belajar. Namun, nilai waktu, perhatian, uang dan pandangan dunia menjadi sesuatu yang harus dipertimbangkan secara mendalam oleh guru dan dosen, terlebih lagi pimpinan dalam sebuah institusi pendidikan.
Bergesernya pembelajaran di kelas menuju rumah, menyebabkan pelaku pendidikan, tidak peduli apapun posisinya harus menjalankan multiperan pada waktu bersamaan. Tentu saja, menjelankan satu peran di suatu waktu jauh lebih mudah dibandingkan beberapa peran. Lebih mudah berkonsentrasi dan produktif di kampus saat menjadi dosen atau mahasiswa saja, dibandingkan di rumah menyambi masak, mencuci, mengurus anak atau keluarga dengan menjawab pertanyaan di kelas daring. Saat awal-awal WFH, sempat viral di media sosial pesan curhatan mahasiswa tentang sulitnya kuliah daring akibat banyaknya tugas dari dosen atau orang tua yang marah-marah karena seharian waktunya dihabiskan di depan laptop. Menjaga perhatian tetap tertuju pada aktivitas belajar di tengah berbagai kesibukan di rumah bukanlah hal yang mudah. Belum lagi beban tugas yang lebih ditekankan pada individu membuat kesulitan memelihara waktu dan perhatian kian bertambah.
Faktor uang juga turut berkontribusi dalam metode pembelajaran daring. Kemudahan teknologi daring tidak tersebar merata di seluruh kalangan pelaku pendidikan. Variasi pendapatan individu maupun keluarga adalah nyata. Teknologi daring mensyaratkan keberadaan hanphone pintar dengan pulsa dan paket data yang selalu terisi. Meningkatnya kebutuhan komunikasi daring berbanding lurus dengan biaya pengeluaran pulsa. Tidak semua pelaku pendidikan dapat menjamin paket datanya lestari sepanjang hari, sementara ruang kelas terjadwal lima sampai enam hari per minggu. Kelas daring semakin memperjelas kelas sosial dan semakin benderang pada mahasiswa sebagai kelompok terdampak. Belum lagi kelas dalam jenis aplikasi.
Aplikasi untuk pembelajaran daring yang mempelihatkan wajah dan komunikasi secara langsung lebih diminati karena memudahkan penerimaan materi dan pengontrolan jalannya kuliah. Akan tetapi, aplikasi semacam itu menyedot pulsa data dengan cepat, banyak mahasiswa tidak kuat. Whatsapp dan Messenger grup yang mengandalkan komuikasi tulisan menjadi pilihan, meskipun kekurangan dalam hal waktu dan tenaga untuk menuliskan setiap pemikiran tak bisa dihindari.
Waktu, uang, perhatian dan pandangan dunia sebenarnya telah menjadi perhatian para pengambil kebijakan di dunia pendidikan. Kementrian pendidikan telah membuat terobosan dengan menggunakan TVRI sebagai sarana pembelajaran bagi siswa pendidikan dasar dan menengah. Terkait pendidikan tinggi, mekanisme pengaturannya tampaknya lebih diserahkan pada inisitif pemangku kebijakan di tingkat universitas. Beberapa kali diberitakan universitas-universitas ternama di Indonesia yang memberikan subsidi paket data atau pemotongan biaya SPP untuk pembelian pulsa bagi mahasiswanya. Jaringan internet internal kampus juga dimaksimalkan secara baik untuk memudahkan dan memurahkan akses materi pembelajaran satu pintu. Sayangnya, belum semua kampus memberikan layanan tersebut sehingga tidak semua mahasiswa dapat menikmatinya.
Jajaran pemimpin di setiap institusi pendidikan tinggi, seharusnya membuat regulasi lokal yang sifatnya responsif. Menata sistem dengan memanfaatkan sumber daya yang telah tersedia dengan mempertimbangkan hal teknis adalah keharusan. Mengatur ulang jadwal serta mekanisme perkuliahan, termasuk menyusun panduan untuk pembelajaran daring. Tidak bijak rasanya memaksakan perencanaan pembelajaran offline atau luring tetap terlaksana pada kelas daring. Tanpa panduan jelas, sistem akan berjalan tidak efektif dan efisien. Setiap penganjar terpaksa membuat regulasi terbatas pada ruang kelasnya agar proses belajar berjalan lancar. Sangat mungkin jika aturan atau mekanisme antara pengajar yang satu dengan yang lain ditemukan berbeda. Hal ini dapat menyulitkan peserta didik untuk mengatur waktu , mengelola situasi, dan merangkum informasi dari setiap kelas. Di kemudian hari, pengajar juga akan direpotkan ketika harus memberi penilaian yang objektif. Stimulus beragam hanya memperpanjang waktu stress, sementara stimulus yang spesifik memudahkan proses adaptasi. Memang hal ini tidaklah mudah, butuh kerja keras dan kerja cerdas dari semua pemangku kepentingan. Regulasi penyelenggaraan pendidikan daring yang responsif dan akomodatif di tengah ketidakpastian wabah akan memudahkan pelaku pendidikan untuk menyesuaikan diri.
Penguatan aspek metafisik pendidikan
Suatu saat di kelas daring, sesi diskusi diramaikan dengan saling menuliskan dan menjawab pertanyaan mahasiswa tentang materi yang baru saja saya bagikan. Tak kurang sepuluh orang bertanya dan jumlah mahasiswa yang menjawab lebih dari itu. Saya terkesima dengan jawaban yang tertulis di layar hanphone. Sebagian mahasiswa saya menjawab dengan benar dan sangat jelas, bahkan lebih lengkap dibandingkan jawaban yang sementara saya siapkan di sesi akhir nanti. Sebuah hal yang membangakan. Belakangan setelah kuliah berakhir, saya mencoba melacak ulang setiap jawaban yang dikemukakan, benar saja, penjelasan yang sangat baik itu persis sama dengan uraian yang ada di sebuah situs kesehatan ternama. Sebuah hal yang sangat mungkin terjadi di tengah keberlimpahan informasi di dunia maya. Kemampuan berselancar di dunia maya mereka memang hebat. Dalam pencarian informasi di dunia digital, kita hanya perlu mencari kata kunci yang pas, dan informasi yang dibutuhkan pun tersedia dengan lekas.
Kejadian ini selalu berulang di setiap perkuliahan daring dengan variasi hanya pada jumlah mahasiswa yang menjawab. Saya membayangkan jika semua mahasiswa saya memiliki kemampuan untuk menemukan informasi yang tepat di dunia maya dan daya baca yang tinggi mereka akan tau setiap informasi sebelum saya sampaikan. Saat tak bisa kontak fisik bersama mereka, sementara google dan youtube memungkinkan mereka belajar dari berbagai sumber informasi dan beragam guru, apa lagi hal yang bisa saya jelaskan pada mereka jika kewajiban mengajar hanya sebatas transfer ilmu pengetahuan saja? Jika teknologi sudah menyediakan seluruh informasi yang mereka butuhkan, untuk apa kuliah jika kuliah hanya menghadirkan hal hal yang sama yang telah disediakan teknologi?
Postman menegaskan kembali dalam bukunya bahwa bukan hanya sivitas akademik saja, tetapi orang tua di rumah harus menanamkan narasi yang sama bahwa pendidikan sejatinya adalah proses untuk menumbuhkan kepercayaan diri, menceritakan tentang makna dan tujuan, menghormati proses belajar, dan toleransi. Pendidikan selayaknya membangun pengertian tentang kehidupan masyarakat serta menjadi dasar bagi perilaku moral. Belajar adalah tentang sebuah proses menggali esensi bukan sekedar mencapai gengsi. Jika hal ini telah mengilhami, maka guru/dosen teknologi tak mampu mengganti keberadaan guru/dosen insani. Teknologi mungkin bisa menggantikan peran guru sebagai pengajar tetapi tidak mampu menggantikan peran guru sebagai pendidik.
Tugas ini menjadi kian berat di masa wabah corona dimana aspek teknis pembelajaran begitu dominan. Penting bagi para pendidik untuk membangun kesadaran metafisik pendidikan bagi mahasiswa dengan tetap berupaya berada di ruang kelas daring untuk menyimak penjelasn dosen, untuk mengerjakan tugas, untuk menempuh ujian, dan bersemangat untuk tetap bejalar meskipun banyak kendala teknis yang terus menggerus motivasi.
Aplikasi pada teknologi pemebelajaran daring bisa diatur agar pada saat ujian hanya bisa sekali login dan submit untuk menjamin kejujuran. Batas waktu pengumpulan tugas dan ujian diatur sedemikian rupa untuk memberi ruang evaluasi tanggung jawab dan memelihara rasa keadilan. Namun tetap saja, pada pembelajaran daring, kesemua nilai tersebut mungkin tidak dapat berjalan baik karena terjebak oleh kendala teknis. Ketika menyentuh aspek teknis, makan putusan akan kembali pada keberadaan regulasi (responsif) yang telah dibahas sebelumnya. Keterbatasan aplikasi teknologi, dapat saja menyisakan celah untuk disalahgunakan. Pada situasi ini, aspek metafisik pendidikan menyangkut kejujuran, keadilan, kerja keras, toleransi, dan tanggung jawab diharapkan telah tertanam sebagai nilai-nilai yang terus dipegang oleh peserta didik sehingga mereka dapat berupaya untuk menjaga proses meskipun guru/dosen tak bisa langsung mengevaluasi. Jika aspek metafisik pendidikan telah terinternalisasi dengan baik, maka ketidakhadiran mahasiswa saat kuliah atau UAS daring bukan masalah besar. Dosen hanya butuh pemakluman dan memberikan kesempatan berikutnya, karena kita yakin bahwa itu bukan alibi terhadap sebuah pengabaian.
Ini bukan perkara instan. Butuh waktu dan perjalanan panjang keteladanan dari seorang pendidik. Belajar dari covid-19, kita memang harus berbenah. Selamat Hari Pendidikan Nasional.