Resume Buku: Rahasia Ilmu Laduni

Rahasia Ilmu Laduni
Judul : Rahasia Ilmu Laduni
Penulis : Al-Ghazali
Penerjemah : Kaserun
Penerbit : Turos Khazanah Pustaka Islam
Tahun : 2017
Tebal : 104 halaman
Mencoba meresume salah satu karya fenomenal sang Hujjatul islam imam Al-Ghazali Ilmu Laduni (ar-Risalah al-Laduniyah). Cakrawala pemikiran beliau yang sangat luas tentang hakekat ilmu gaib, ilmu yang langsung diberikan oleh Allah kepada hamba yang dikehendaki oleh-NYA, tanpa perantara, dan tanpa pembelajaran. Tentu saja apa yang akan saya resumekan di sini akan sangat terbatas dalam aspek kuantitas maupun kualitas pemahaman, sesuai dengan kapasitas pengetahuan saya yang terbatas. Hal ini semata-mata saya anggap sebagai sebuah upaya reflektif dalam memaknai teks yang tertuang dalam buku ini sekaligus pengingat untuk selalu menjadi pembelajar sejati. Semoga dengan niatan ini Allah melindungi dan memaafkan saya dari segala khilaf.
Buku kecil ini terdiri dari 7 bagian yakni; pendahuluan, ilmu gaib laduni, perihal kemuliaan ilmu, penjelasan tentang jiwa dan ruh manusia, macam-macam pembagian ilmu, tingkatan-tingkatan jiwa dalam meraih ilmu, serta perihal hakikat Ilmu Laduni dan sebab-sebab kemunculannya. Saya tidak akan menjelaskannya sesuai urutan di atas, tetapi hanya pada poin-poin penting yang bisa saya tangkap dari buku ini.
Di dalam kamus bahasa Indonesia ilmu adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu. Berdasarkan definisi ini maka komponen ilmu terdiri dari pengetahuan tentang sesuatu objek yang ingin diketahui, metode untuk mendapatkan pengetahuan, dan kegunaan dari pengetahuan itu. Dengan pendekatan filsafat ketiga hal ini dikenal sebagai aspek ontologis, epistemologis, dan aksiologis ilmu.
Kemuliaan ilmu bergantung pada sejauh mana kemuliaan objek yang ingin diketahui. Sejalan dengan hal tersebut, derajat orang yang mengetahui sesuai dengan derajat keilmuannya. Sudah menjadi keyakinan bahwa objek ilmu yang paling utama, paling tinggi, paling mulia, dan paling angung adalah ALLAH. Pencipta (ash-Shani), Pendahulu (al-Mubdi), Maha Benar lagi Esa (al-haqq al-Wahid). Ilmunya dikenal dengan ilmu tauhid, ilmu paling utama, paling agung, dan paling sempurna. Ilmu ini bersifat primer dan wajib diperoleh bagi semua orang berakal. Jika ilmu tauhid adalah ilmu yang paling tinggi, maka orang yang mengetahui ilmu ini adalah ulama yang paling utama dan mendapatkan derajat yang mulia di mata Allah.
Sesuai dengan firmannya dalam QS. Al- Imran : 18 “Allah menyatakan bahwa tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah)", yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang berilmu (juga menyatakan demikian). Meskipun ilmu bersifat mulia dan sempurna pada dirinya sendiri, tetapi untuk mengetahui suatu ilmu, kita butuh perantara-perantara atau pengantar-pengantar ilmu-ilmu lain. Dengan demikian, sebagai induk ilmu, ilmu tauhid akan melahirkan ilmu-ilmu lain sebagai perantara untuk dapat memahami yang sekaligus merupakan metode atau cara untuk mengetahuinya.
Di dalam buku ini disebutkan bahwa ilmu hukumnya sama dengan wujud. Sama halnya dengan hidayah, kebenaran dan cahaya yang berada dalam rangkaian wujud. Wujud lebih baik dibandingkan tiada, ilmu lebih baik dari pada kebodohan. Selanjutnya, sebelum memahami ilmu, perlu diketahui terlebih dahulu struktur diri manusia sebagai substansi yang mengenal dan menerima ilmu. Imam Al-Ghazali membagi struktur diri manusia dalam tiga aspek: Jasmani (jisim), Ruh, Jiwa (an-nafs).
Jisim manusia merupakan raga atau tubuh kasar yang menampung atau membawa ruh dan jiwa. Jisim adalah wujud manusia yang tampak beserta seluruh anggotanya (kepala hingga kaki). Jisim adalah bagian yang akan hancur ketiga manusia mati.
Selanjutnya Ruh yang dimaksud adalah potensi manusia yang menggerakan rasa lapar, haus, amarah, nafsu. Ruh ini juga dimiliki oleh binatang sehingga dikenal dengan ruh hewani atau disebut juga dengan jisim halus. Jisim halus layaknya pelita yang diletakkan dalam kaca hati; bentuk sanubari yang digantung di dalam dada. Kehidupan adalah sinar pelita tersebut, sedangkan darah menjadi bahan bakar minyaknya, rasa da gerak adalah cahanyanya, syahwat menjadi suhunya, amarah merupakan asapnya. Jisim halus merupakan potensi yang membutuhkan makanan yang berada dalam jantung menjadi pelayan, penjaga dan wakilnya. Keberadaan jisim halus ini dapat dilacak dengan adanya aksiden. Binatang hanya sampai pada tingkatan jisim halus ini. Ruh ini tidak dapat mengetahui ilmu.
Sedangkan jiwa (an-nafs) atau disebut juga dengan ruh muthma’innah atau al-qalb (hati) merupakan bagian diri yang dapat menerima ilmu. Jiwa merupakan perkara Allah, dan merupakan potensi Iahi yang ada di dalam diri manusia “Dan Aku telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Ku” (QS. Al-Hijr:29).
Jiwa merupakan cahaya abstrak yang dapat dipahami akal. Karena merupakan urusan Allah, jiwa merupakan esensi yang sempurna dan tunggal yang tidak muncul selain dengan cara mengingat, menghapal, berpikir, membedakan dan mempertimbangkan ia adalah bagian diri yang dapat menampung menerima seluruh ilmu. Karena bukan substansi materi, maka jiwa tidak terbatas pada dimensi ruang dan waktu. Ia dapat mengetahui ilmu yang rasional maupun yang ghaib.
Jiwa merupakan esensi sempurna dan tunggal. Esensi ini merupakan pimpinan semua ruh, dan penguasa seluruh potensi. Sehingga pengetahuan akan jiwa akan membuka seluruh rahasia ilmu.
Buku ini membagi ilmu menjadi 2 kelompok besar yaitu ilmu syari dan ilmu ‘aqli (rasional). Ilmu syari terbagi lagi menjadi ilmu ushul dan ilmu furu. Ilmu ushul adalah ilmu tauhid yang sifatnya ilmiah (tafsir al-quran dan hadist). Ilmu furu sifatnya praktis mencakup hak Allah, hak hamba dan hak jiwa. Ilmu aqli (rasional) terdiri dari tiga tingkatan, dengan level terendah adalah ilmu matematika dan logika, selanjutnya ilmu alam (natural science) dan ketiga adalah ilmu maujud. Ilmu maujud mencakup pandangan tentang pencipta dan zatNYA, sifatNYa, perintah, hikmah, dan keputusannya, perbuatanNYA, wujudNYA, padangan tentang segala sesuatu di lam atas (‘ulwiyat), esensi-esensi tunggal, akal, jiwa yang sempurna, ilmu kenabian, mukzizat, karamah. Ilmu tasawuf termasuk dalam kategori ilmu rasional ini.
Setelah mengetahui pembagian ilmu, maka bagaimana kiranya cara untuk dapat mengetahui ilmu. Diterangkan dalam buku ini bahwa ilmu dapat diperoleh melalui dua cara yaitu pengajaran manusia dan pengajaran Tuhan. Cara pertama adalah cara yang lazim dan jalan yang bisa indera serta dilakukan oleh semua orang yang berakal ketika berinteraksi dengan lingkungan.
Pengajaran Tuhan terjadi melalui dua bentuk yaitu dari luar melalui belajar dan dari dalam dengan konsentrasi dan perenungan. Disebutkan pula bahwa belajar adalah mencari manfaat dari individu-individu partikular, sementara merenung berarti mengambil manfaat dari jiwa universal. Seperti halnya pembagian insan di atas, bahwa jiwa adalah perkara Tuhan. Dengan demikian perenungan dengan jiwa yang mengenal akan Tuhan lebih kuat pengaruhnya dibanding semua ulama maupun orang cerdas.
Karena semua ilmu dapat diserap oleh jiwa yang cerdas dan mengenal. Dalam pengajaran Tuhan, ilmu dapat hadir melalui wahyu. Yang terjadi pada para Nabi dan Rasul. Sehingga wahyu merupakan Ilmu Kenabian. Sosok-sosok mulia yang telah bersih dari noda dan terbuka hijab secara terang benderang dengan alam gaib. Yang selalu menghadapkan wajah dan hatinya pada sang Pencipta. Dengan demikian, Muhammad SAW merupakan rasul dengan derajat keilmuan tertinggi, paling sempurna, paling mulia, yang mendapatkan pengajaran dari Tuhan melalui perantaraan Jibril.
Sepeninggalan nabi Muhammad, maka terhentilah pengajaran Tuhan melalui wahyu. Akan tetapi masih terdapat bentuk pengajaran Tuhan lainnya yang masih dapat dirasakan oleh manusia yang mengenalNYA dan selalu mengingatNYA yaitu Ilham. Jika wahyu menjadi pernyataan sesuatu yang gaib, maka ilham merupakan penampakan perkara yang gaib. Ilmu yang dicapai melalui Ilham inilah yang dikenal dengan Ilmu Laduni.
Wahyu adalah perhiasan para nabi dan Ilham adalah perhiasan para wali. Ilham lebih rendah dibandingkan wahyu dan lebih kuat dibandingkan mimpi. Seseorang yang mendapatkan Ilmu Laduni maka akan memperoleh hakikat hikmah atau kebijakan yang melahirkan ketenangan jiwa.
“ Allah menganugrahkan hikmah (kefahaman yang dalam tentang al-Quran dan as-Sunnah) kepada siapa yang dikendaki-NYA. Dan barang siapa yang dianugrahi hikmah, ia benar-benar telah dianugrahi karunia yang banyak. Dan tidaklah mengingat kecuali orang-orang yang berakal” (QS. Al-Baqarah: 269).
Ilmu Laduni datang kepada jiwa manusia dapat berupa bisikan yang datang kepada hati. Karena hadirnya pada jiwa, maka pengenalan terhadap jiwa yang ada dalam diri merupakan langkah awal untuk dapat menerima ilmu ini. Ilmu ini bersumber dari kebersihan hati dalam mengenal Tuhan, yang merupakan cermin dari sifat Allah Bashar (melihat) yang dilanjutkan dengan proses sama’ (mendengar) atas segala keagungan Tuhan.
Bagaimana agar kita dapat merasakan Ilmu Laduni sehingga dapat mengalir cahaya ilham dalam diri adalah kembali kepada Jiwa yang esensinya adalah fitrah, jernih dan mampu menampun ilmu yang tak terbatas. Jika manusia telah sampai pada jiwa yang hakiki maka Ilmu Laduni akan hadir melalui tiga cara: perolehan seluruh ilmu dan pengambilan bagian yang paling sempurna dari sejumlah besar yang ada (belajar), latihan yang benar dan muraqabah yang shahih. Hal ini dapat saja terjadi karena nabi Muhammad pernah bersabda, “barangsiapa yang mengikhlaskan dirinya kepada Allah selama empat puluh subuh, Allah akan menampakkan dari kalbunya sumber-sumber hikmah melalui lisannya”.
Ilmu laduni dapat dirasakan juga melalui tafakur/merenung. Merenung bukan menghayal tetapi memikirkan segala hal yang telah diketahui dan menghadirkan Allah di dalam setiap aktifitas tersebut dengan segenap kesadaran. Dengan demikian, Ilmu Laduni hanya akan tercurah pada mereka yang berhati bersih, lembut, yang menyerahkan totalitas hidup dan kehidupannya di dalam penjagaan Allah SWT.
Terlepas dari keberadaan Ilmu Laduni ini masih menjadi kontroversi dikalangan para ulama Islam. Setidaknya sedikit pengetahuan tentang adanya ilmu ini, dapat membawa kita pada keikhlasan dalam peribadatan maupun penyembahan padaNYA. Menjauhkan diri dari sifat riya dan angkuh. Sesungguhnya segala pengetahuan maupun ilmu yang kita ketahui adalah berasal dariNYA. Mengabdikan dan mengaplikasikan ilmu yang telah kita ketahui menjadi sebuah bentuk kesyukuran dan menjadi pintu untuk menggapai ilmu lainnya. Semoga kita menjadi orang-orang yang mendapatkan hikmah.
Resume ini pernah dipublikasi oleh penulis pada grup Indonesia Membaca